Apakah Soft
Power Merupakan Cara Terbaik dalam Mencapai National Interest ?
Joseph
Samuel Nye, Jr. atau yang biasa dikenal dengan sebutan Nye adalah seorang ahli
politik yang berasal dari Amerika. Beliau juga merupakan salah satu orang yang
memberikan pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan luar negeri Amerika. Dalam tulisannya yang
berjudul Hard and Soft Power in American Foreign Policy, Nye ingin menyampaikan bahwa power yang dimiliki oleh sebuah negara tidak lagi bersifat konvensional yang hanya berbentuk hard power seperti penggunaan kekerasan
dengan militer. Tetapi, pada masa kini sebuah negara juga memiliki soft power dimana memiliki pendekatan secara lebih halus dengan
menggunakan misalnya budaya sebagai instrumennya.
Disini
Nye juga menekankan bahwa salah satu contoh negara yang berhasil memadukan
kedua power ini adalah Amerika. Ia
juga beranggapan bahwa di dunia yang modern ini, negara lebih baik menggunakan soft power untuk mencapai national interestnya karena baginya
kekuatan soft power sekarang hampir
sama besarnya dengan hard power. Baginya
soft power merupakan ‘getting others to want what you want.’
Dengan begitu, pihak lain tidak akan merasa terbebani ataupun terpaksa dengan
apa yang kita lakukan karena mereka juga menginginkan hal yang sama dengan
kita.
Tetapi,
bagi Josef Joffe dalam tulisannya di majalah New York Times, Ia mengatakan bahwa walaupun soft power dapat memersuasi negara lain namun power tetaplah power dimana
pasti ada pihak lain yang tetap tidak akan menyukai kita.
Contohnya seperti dalam tulisan An Unclear
Attraction: A Critical Examination of Soft Power as an Analytical Category
oleh Todd Hall, yaitu dalam sebuah film Amerika berjudul Black Hawk Dawn. Dimana Amerika mencoba untuk memperlihatkan
bagaimana tentara Amerika di Somalia untuk menangkap 2 orang letnan yang
berkhianat dan mereka terjerat dalam pertempuran yang cukup sengit. Film yang
bertujuan menarik simpati bagi yang menontonnya tetapi tentu saja tidak
berpengaruh terhadap orang Somalia yang menontonnya.
Selain itu, Joffe juga menambahkan, produk popculture
yang dihasilkan oleh Amerika hanya berujung pada sekedar keinginan orang-orang
melakukan hal tersebut bukan karena adanya rasa “kebersamaan” dengan Amerika
melainkan hanya sekedar “ikut-ikutan” saja.
Pada
masa Perang Dunia I, Nye memberikan kesimpulan bahwa sebesar apapun power yang dimiliki oleh suatu negara –dimana
pemegang power terbesar pada saat itu
adalah Amerika- tidak membuat negara lain tidak akan berani menyerang negara
tersebut. Contohnya adalah Amerika yang gagal mencegah pemboman Pearl Harbor
oleh Jepang. Ditambah
lagi dengan masuknya era Perang Dingin dimana kepemilikan senjata nuklir yang
sebenarnya dipergunakan untuk perang tetapi pada faktanya hanya untuk bargaining position saja tetapi
menimnbulkan kecemasan dimana-mana. Lalu, meningkatnya rasa nasionalisme juga
membuat penggunaan militer seperti melakukan penjajahan tidak lagi relevan
untuk dilakukan karena membutuhkan biaya yang cukup besar.
Nye juga melihat bahwa akumulasi power bukan
hanya dilihat dari militernya saja tetapi juga dari ekonomi suatu negara. Dari
sana, Ia menegaskan bahwa tindakan kekerasan apapun yang dilakukan negara dapat
melumpuhkan perekonomiannya sehingga ada baiknya negara lebih baik menggunakan soft power untuk memenuhi national interest mereka.
Meskipun
penggunaan soft power dipercaya dapat
mengurangi kekerasan tetapi bagi Paul Pillar dalam artikelnya yang berjudul The American Perspective on Hard and Soft
Power , memang betul kekerasan akan berkurang tetapi hanya dari dalam
Amerika saja. Dengan memperlihatkan bahwa Amerika merupakan tempat yang
diidam-idamkan banyak orang untuk ditinggali. Dengan adanya kesan tersebut
membuat orang berlomba-lomba ingin tinggal di Amerika sehingga dengan mudahnya
Amerika membuat kesan seolah-olah negara lain yang membutuhkan dia. Tetapi hal
ini akan membuat para anti-Amerika yang tidak suka dengan adanya kekuatan
tunggal Amerika malah membuat mereka menggunakan kekerasan sebagai cara paling
instan untuk memberikan pengaruh misalnya dengan menjadi teroris.
Lalu bagaimana cara menggunakan soft power tersebut? Nye disini akan
memberikan contoh dengan menggunakan ideologi sebagai bentuk soft power nya. Setiap negara tentu
memiliki ideologi yang dianggap terbaik untuk negaranya. Misalnya, Amerika yang
menganut budaya demokrasi dan ingin negara lain turut menganut hal yang sama.
Daripada ia memaksakan ideologinya untuk dianut oleh negara lain, jalur yang ia
tempuh adalah dengan mewujudkan demokrasi tersebut kedalam tindakan nyata.
Amerika memperlihatkan bahwa demokrasi merupakan ideologi yang baik dan pantas
untuk menjadi fondasi bagi negara lain. Tindakan nyatanya dapat berupa
mendengarkan negara lain di dalam institusi internasional ataupun membuat
kebijakan luar negeri yang berorientasi pada perdamaian dan HAM.
Tetapi,
perlu kita ketahui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dan sistem
internasional kita yang anarki membuat tidak ada yang bisa mengatur negara lain
untuk melakukan hal tertentu. Jika Amerika berusaha menyebarluaskan ideologinya
dengan menggunakan soft power tentu
bagi negara-negara tertentu tetap tidak akan bergeming untuk pindah menganut
demokrasi. Seperti yang terjadi di Korea Utara. Dimana sedari kecil masyarakat
Korea Utara sudah ditanamkan untuk tidak menerima bantuan dari negara lain
(ideologi juche) dan memilih untuk mengisolasi diri. Lalu bagaimana Korea Utara
tetap ada hingga sekarang? Mereka menggunakan nuklir sebagai bentuk power. Dengan demikian, untuk
menyeimbangi power yang dimiliki oleh
Korea Utara tentu saja Amerika harus memiliki nuklir juga dimana hal tersebut
sebenarnya bertentangan dengan soft power.
Kesimpulannya adalah penggunaan soft power memang bisa digunakan sebagai
jalur alternatif untuk mencapai national
interest tanpa melalui kekerasan. Tetapi, kembali lagi kepada negara yang memiliki
kedaulatan dan sistem internasional anarki. Force
of military mau tidak mau tetap harus digunakan sebagai bentuk bargaining position. Walaupun Nye sudah
memberikan beberapa bukti namun ada beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan
olehnya seperti bagaimana menanggulangi kelemahan-kelemahan soft power tersebut.
Nye
sudah cukup jelas dalam menyampaikan argumen-argumennya dengan bantuan
menggunakan data kualitatif. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai soft power yang digunakan oleh Amerika
dalam kebijakan luar negerinya, tulisan ini cukup menjelaskan dengan data-data
yang cukup lengkap dan singkat. Tetapi sangat disayangkan, penulis belum
memberikan penjelasan secara lebih mendetail kelebihan soft power daripada hard
power karena di dalam tulisannya pun penulis masih mengakui bahwa peranan hard power masih sangat dibutuhkan.
Referensi
Joffe, J. (2006, May 14). The Perils of Soft Power.
Retrieved October 22, 2014, from New York Times:
http://www.nytimes.com/2006/05/14/magazine/14wwln_lede.html?pagewanted=all&_r=0
Joseph S. Nye, J. (2011). Hard and Soft Power in American
Foreign Policy. In P. R. Viotti, & M. V. Kauppi, International Relations
Theory (pp. 109-117). Pearson.
Lee, G. (n.d.). A Theory of Soft Power and Korea’s Soft Power
Strategy. 4.
Pillar, P. R. (2011, January 4). The American Perspective
on Hard and Soft Power. Retrieved October 22, 2014, from The National
Interest:
http://nationalinterest.org/blog/paul-pillar/the-american-perspective-hard-soft-power-4669