Mengapa kepemilikan senjata nuklir
oleh Iran dilihat berbahaya bagi negara-negara Eropa dan Amerika bahkan dunia?
Dalam
pandangan realis, sistem internasional bersifat anarki. Setiap negara akan
selalu berusaha memenuhi kepetingan nasionalnya tanpa dapat mengharapkan
bantuan dari negara lain. Negara akan selalu berorientasi untuk mencari power. Hal ini membuat
terjadinya suatu keadaan bernama dilema
keamanan, yaitu sebuah kondisi ketika sebuah negara meningkatkan militernya
walaupun hanya bertujuan untuk pertahanan namun hal ini membuat negara lain
akan merasa terancam. Dilema
keamanan ini terjadi pada kasus Iran dengan negara-negara di Eropa dan Amerika
Serikat. Iran yang melakukan pengayaan nuklir membuat negara-negara di
Eropa dan Amerika Serikat merasa terancam. Berdasarkan konsep dilema keamanan
tersebut muncul pertanyaan : Mengapa
kepemilikan senjata nuklir oleh Iran dilihat berbahaya bagi negara-negara Eropa
dan Amerika bahkan dunia?
Sebelum
menguraikan pembahasan lebih lanjut mengenai argumen yang ada, penulis akan
memberikan penjelasan konsep mengenai dilema keamanan terlebih dahulu. Dilema keamanan dicetuskan pertama kali oleh Xenophon
dan Thucydides yang beranggapan bahwa seorang aktor akan selalu merasa dilema
antara satu dengan yang lainnya karena adanya sifat dasar manusia yang egois sehingga akan selalu berusaha untuk memenuhi
kepentingannya tanpa melihat kepentingan orang lain. Lalu John
Herz berpendapat bahwa manusia merupakan mahluk
sosial dan saling membutuhkan. Namun, kontak
sosial ini dapat menimbulkan kompetisi sosial, seperti
mempertahankan SARA-nya. Maka dari itu, manusia akan selalu merasa
saling curiga karena adanya rasa takut apabila – misal ras nya – akan didominasi
oleh ras lain (Collins, 2000).
Jika
para pendahulunya hanya menjelaskan dilema yang terjadi antara individu, Herbert
Butterfield berpendapat bahwa dilema dapat terjadi dalam area yang lebih luas
yaitu antar negara. Butterfiel mengungkapkan bahwa adanya uncertainty membuat statesmen akan menanggapi kebijakan yang
dibuat oleh negara lain sebagai bentuk ancaman. Hal ini dikarenakan adanya rasa
takut dan curiga bahwa negara lain
memiliki intensi jahat sehingga kerjasama akan dihindari dan berujung pada
konflik lalu akan meningkat menjadi perang (Collins, 2000).
Menurut Collins (2000), dilema keamanan setelah perang dingin memiliki 3
karakteristik yang saling berkaitan. Diawali dengan benign
intent dimana sebenarnya
tidak ada aktor yang memiliki keinginan untuk menyerang, tindakan yang
dilakukan hanya bertujuan untuk defensif saja. Tetapi adanya uncertainty
of intent membuat intensi baik tersebut tidak
diketahui oleh aktor yang lainnya sehingga aktor lain tidak dapat memastikan
bahwa tindakan tersebut hanya dimaksudkan untuk defensif saja. Lalu muncullah paradoxical dimana aktor A menganggap hal tersebut tindakan defensif tetapi
diartikan sebagai ofensif oleh aktor lainnya. Maka dari itu, aktor lain akan
merasa terancam dengan tindakan yang dilakukan oleh aktor A.
Lalu
mengapa aktivitas pengayaan nuklir Iran dapat mengancam? Kembali pada argumen pertama yang menyebutkan bahwa dari faktor
domestiknya, mayoritas rezim-rezim
yang berkuasa di Iran merupakan anti-Barat. Pada tahun 1984,
walaupun aktivitas yang dilakukan rezim Khomeini tidak diwarnai oleh nuklir.
Tetapi, rezim ini bersifat konfrontasional dan anti kekuatan Barat. Kebijakan
yang dikeluarkan berisikan upaya-upaya untuk membebaskan negara-negara baik
muslim maupun non-muslim dari kekuatan imperialis (Iran Masa Rowhani, 2013).
Dilanjutkan oleh Mahmoud Ahmadinejad, Iran dikuasai oleh rezim yang bersifat asertif dan konfrontasional terhadap Barat. Hal ini terlihat dari kebijakan luar negeri Iran
seperti yang ditulis oleh Kisacik (2012) :
1) ‘Theory of Mehdeviyet’ (thought of
Sect Leadership): The theoretical framework of the foreign policy is based on
Tyrants and Oppressed.
2)
Some anti-Israeli statements such as Israel should be erased from the pages of
history, Israel should be moved to Alaska and the Holocaust history is an
exaggerated project of the history.
3)
The decision making mechanism of foreign policy is composed of velayate faqih /
the institution of guidance (religious leader), soldiers (Revolutionary Guards)
and radical conservative bureaucrats (the Hüccetiye group).
Kebijakan dan politik luar negeri yang
dibuat oleh Ahmadinejad ini memperlihatkan bahwa Iran merupakan negara yang
tidak dapat bertanggungjawab dalam memiliki senjata nuklir. Dilihat dari
kebijakan pertama, pemimpin Iran dapat menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki
karena adanya prinsip tirani dan memperbolehkan akan penindasan. Lalu kebijakan
kedua dapat diasumsikan bahwa Iran ingin memiliki senjata nuklirnya sebagai
cara untuk memperoleh kepentingannya, yaitu ingin mereduksi dominasi Amerika di
Timur Tengah dengan memusnahkan Israel. Serta, dapat terlihat dari pengambilan
keputusan yang dilakukan dengan tidak demokratis.
Beranjak pada argumen kedua bahwa salah satu karakteristik dalam konsep dilema
keamanan adalah adanya uncertainty of intent.
Karakteristik ini membuat persepsi Amerika terhadap Iran memburuk dikarenakan
sebuah negara revisionis melakukan pengayaan nuklir yang melebihi standar yang seharusnya. Negara revisionis merupakan negara yang tidak puas dengan status-quonya. Sifat ini
membuat Iran ingin mendapatkan lebih dari apa yang sudah ditentukan sebelumnya.
Bukti bahwa Iran melakukan pengayaan nuklir yang berlebihan diambil dari data
dalam Nuclear Threat
Initiative pada tahun 2006,
Iran mulai meningkatkan produksi uraniumnya yang menyebabkan beberapa negara
merasa bahwa Iran juga ingin membuat senjata nuklir. Padahal pada tahun 1970
Iran ikut menandatangani perjanjian NPT bahwa pengayaan nuklirnya hanya
diperuntukan kepentingan damai. Iran yang tidak melaporkan pengayaan ini kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) serta
membuat ballistic missiles dan memiliki kemampuan untuk
meluncurkan satelit tanpa pengawasan dari Missile
Technology Control Regime (MTCR)
menambah kecemasan dunia terhadap Iran (Albright & Stricker) .
Iran juga terbukti
menyembunyikan aktivitas pengadaan nuklirnya seperti yang diungkapkan oleh National Council of Resistance of
Iran (NCRI) bahwa pada
tanggal 14 Agustus 2002 ditemukan fasilitas nuklir serta beberapa perusahaan
yang mendukung pembuatan nuklir tersebut (Center, 2013). Pada November 2004,
CIA juga mendapatkan informasi bahwa Iran sedang melakukan modifikasi terhadap
rudal Shahab-3 sehingga dapat membawa hulu ledak nuklir. Iran juga membatalkan
perjanjiannya dengan UE-3 pada Agustus 2005 dengan kembali melanjutkan produksi
uranium serta mengabaikan resolusi yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB yang
berisi tindakan-tindakan untuk mengurangi pengayaan nuklir yang dilakukan oleh
Iran (Farkan, A., Chaesario, Hapsari, & K.A, 2011).
Selain
itu, tindakan-tindakan revisionis Iran juga terlihat dengan terlibatnya Iran dalam
gerakan militansi timur tengah anti barat, Hezbollah, yang merupakan sebuah
grup teroris berdasarkan data di daftar Foreign
Terrorist Organizations menurut
Departemen luar negeri Amerika (Levitt, 2013). Iran juga menentang
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh AS dan organisasi internasional
lainnya mengenai isu nuklir dan ini membuat timbulnya persepsi buruk terhadap
Iran dengan memasok senjata kepada para teroris dan bantuan kepada militan anti
AS seperti Hamas (Amer, 2014).
Kepemilikan
senjata nuklir oleh Iran juga tidak hanya akan berdampak pada negara-negara
Eropa dan Amerika. Tetapi, seperti pada argumen ketiga bahwa arm
races dapat terjadi terutama di kawasan timur tengah. Ketika Iran
memiliki senjata nuklir, tentu saja pertama hal ini dapat membuat rezim
non-proliferasi nuklir terancam. Karena seperti tertulis dalam artikel keempat Nuclear Nonproliferation Treaty (“Nothing in this Treaty shall be interpreted as affecting
the inalienable right of all the Parties to the Treaty to develop research,
production and use of nuclear energy for peaceful purposes without
discrimination and in conformity with articles I and II of this Treaty.”) bahwa pengayaan
nuklir dilakukan hanya untuk tujuan damai. Lalu, menurut Hallinan
(2013) dalam artikelnya di Counter
Punch menjelaskan bahwa di
dalam NPT terdapat larangan pembuatan senjata nuklir di dalam segala program
pengayaan nuklir yang dilakukan oleh negara-negara yang menandatangani
perjanjian ini.
Kedua,
bagi bangsa Barat, kepemilikan senjata nuklir yang dimiliki oleh Iran dapat mengancam
dominasi Barat dalam menjaga politik keamanan global. Negara-negara maju yang
memiliki senjata nuklir membuat negara lainnya tentu enggan melakukan
perlawanan karena mereka memiliki persenjataan yang lebih kuat. Tetapi, jika
Iran juga memiliki senjata nuklir, ia bisa mengeluarkan ancaman agar negara
Barat mau memenuhi kepentingan nasionalnya karena Iran memiliki persenjataan
yang sama kuatnya. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika ketika hegemoninya
akan berkurang dan status quo yang dimilikinya terancam.
Ketiga,
kepemilikan senjata nuklir oleh Iran akan membuat terganggunya
stabilitas dunia internasional. Negara-negara
yang sebelumnya tidak dapat memiliki nuklir karena adanya rezim ini akan
beranggapan bahwa, negaranya juga mampu memiliki nuklir seperti yang dilakukan
oleh Iran. Namun, negara-negara terutama yang berada di kawasan timur tengah
dianggap bahwa mereka masih belum memiliki tanggungjawab untuk dapat memiliki
senjata pemusnah masal. Melihat situasi dan kondisi negara-negara timur tengah
yang hingga kini masih belum stabil dan masih banyaknya konflik yang terjadi
maka arm races bisa saja terjadi. Ketika suatu
negara memiliki senjata nuklir tentu saja akan terjadi dilema keamanan bagi
negara lainnya maka negara tersebut akan berusaha meningkatkan persenjataannya.
Perlombaan senjata ini dapat terjadi kapanpun ketika negara lainnya merasa
terancam dengan senjata yang dimiliki oleh negara tersebut.
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat diperoleh dari alasan mengapa
kepemilikan senjata nuklir oleh Iran dilihat berbahaya bagi negara-negara Eropa
dan Amerika bahkan dunia adalah : Pertama, dilihat dari faktor internal negara
Iran sendiri dimana rezim-rezim yang berkuasa di Iran bersifat konfrontasional
dan anti-barat. Kedua, berdasarkan konsep dilema keamanan bahwa adanya uncertainty of intent membuat Amerika dan negara lainnya
tidak memiliki kepastian dengan segala sesuatu yang dilakukan Iran. Maka dari
itu, ketika Iran melakukan pengayaan nuklir melebihi standar yang sudah
disepakati menimbulkan munculnya persepsi buruk terhadap tindakan Iran. Ketiga,
ketika Iran dapat memiliki senjata nuklir maka hal ini akan membuat negara
lainnya khususnya di kawasan timur tengah akan ikut memiliki senjata nuklir dan
alhasil arm races tidak dapat terhindarkan ketika
konflik terjadi di antara negara-negara tersebut.
Referensi
:
Albright, D., & Stricker, A. (n.d.). Iran's Nuclear Program. Retrieved June 2014, from UNITED
STATES INSTITUTE OF PEACE: http://iranprimer.usip.org/resource/irans-nuclear-program
Amer, A. A. (2014, March 24). Iran
resumes monetary aid to Hamas. Retrieved
June 2014, from ALMONITOR:
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/03/iran-hamas-finance-economy-resistance-axis-gaza.html#
Arms Control Association. (2012, August). The
Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) at a Glance. Retrieved June 2014, from Arms Control
Association: http://www.armscontrol.org/factsheets/nptfact
Asrudin. (n.d.). Isu
Nuklir Iran dan Dilema Keamanan. Retrieved May 2014, from Iran Indonesian
Radio:
http://indonesian.irib.ir/artikel1/-/asset_publisher/7xTQ/content/isu-nuklir-iran-dan-dilema-keamanan/pop_up
Center, J. M. (2013, November). Iran
Nuclear. Retrieved May 2014, from Nuclear Threat Initiative:
http://www.nti.org/country-profiles/iran/nuclear/
Collins, A. (2000). Introduction: Evolution of the Security Dilemma. In A.
Collins, The Security Dilemmas
of Southeast Asia (pp. 1-28).
London: MacMillan Press.
Farkan, A., A., Y. K., Chaesario, R., Hapsari, E., & K.A, W. (2011,
July). ANALISIS KEBIJAKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN MASA KEPEMIMPINAN AHMADINEJAD.
Hallinan, C. (2013, December 5). Iran
and the Non-Proliferation Treaty. Retrieved
June 2014, from Counter Punch:
http://www.counterpunch.org/2013/12/05/iran-and-the-non-proliferation-treaty/
Iran Masa Rowhani. (2013, June
20). Retrieved June 2014, from SINAR HARAPAN:
http://cetak.shnews.co/web/read/2013-06-20/13925/iran.masa.rowhani#.U5SBGvmSzQo
Kisacik, S. (2012, July). NUCLEAR
PROGRAM OF THE ISLAMIC REPUBLIC OF IRAN: A COMPARISON ON KHOMEINI AND
AHMADINEJAD TERMS. Retrieved
June 2014, from Politika Akademisi:
http://politikaakademisi.org/nuclear-program-of-the-islamic-republic-of-iran-a-comparison-on-khomeini-and-ahmadinejad-terms/
Levitt, M. (2013). The Hezbollah Connection in Syria and Iran. Interview
with B. Gwertzman. Council on Foreign Relations.
February 15, 2013. Retrieved June, 2014, from
http://www.cfr.org/iran/hezbollah-connection-syria-iran/p30005
Pratama, T. A. (2008). Retrieved May 2014, from
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/118799-T%2025107%20-%20Kebijakan%20nuklir-Analisis.pdf
Shirazi, N., & Cullis, T. (2014, February 27). Fruits of Iran's Revolution. Retrieved June 2014, from Truthout:
http://truth-out.org/news/item/22118-fruits-of-irans-revolution
THE TREATY ON THE NON-PROLIFERATION OF NUCLEAR WEAPONS (NPT). (n.d.). Retrieved June 2014, from Nuclear Threat Initiative:
http://www.nti.org/media/pdfs/aptnpt.pdf?_=1316547167&_=1316547167