Peran Geopolitik dalam Era Diplomasi Masa Kini
Alfred Thayer
Mahan, salah satu pencetus geopolitik dengan teori kekuatan maritimnya yang
masih digunakan hingga hari ini dalam dunia politik. Dalam bukunya yang
berjudul From Sail to Steam, Mahan berpendapat bahwa jika sebuah negara
mampu menguasai laut maka negara tersebut dapat menguasai dunia (Sempa, 2014). Pada
masa kini, dunia politik sudah menuju ke arah politik global dimana bermunculan
aktor-aktor selain negara. Sehingga, setelah perang dingin negara mulai
mengurangi kebijakan dalam geopolitik dan mulai memperhatikan aspek-aspek yang
lain seperti isu globalisasi, pemanasan global, dan menghambat proliferasi
senjata nuklir. Lalu, apakah geopolitik masih berperan dalam era diplomasi masa
kini?
Geopolitik adalah sebuah
kebijakan yang diambil oleh negara melalui kekuatan politiknya yang dipengaruhi
oleh interaksi antara aspek-aspek geografis dan proses politiknya sehingga mempengaruhi
perilaku dunia internasional (Cohen,
2008). Jika dilihat dari keadaan dunia setelah perang dingin, Francis Fukuyama
dalam bukunya The End of History and the
Last Man (1992) berpendapat bahwa ideologi liberal demokrasi dan pasar
bebas kapitalisme sudah mengakhiri masa geopolitik sehingga hal tersebut
dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling akhir. Negara-negara mulai
mengesampingkan geopolitik dengan mulai mengurangi pengeluaran mereka dalam hal
militer. Kehadiran non-state actors seperti
PBB dianggap dapat membawa dunia masuk ke dalam era diplomasi sehingga segala
sesuatu bisa diselesaikan melalui jalur diplomasi.
Akan tetapi, dunia
pada masa sekarang ini membuat geopolitik menjadi kembali penting walaupun kita
sudah memasuki era diplomasi. Apa yang sudah diramalkan oleh Mahan bahwa akan
bermunculan negara-negara yang memperebutkan geopolitik terjadi. Hal ini bisa
dilihat dengan kehadiran negara-negara revisionis seperti Tiongkok, Iran dan
Rusia (Mead, 2014).
Seperti yang
terjadi pada Uni Eropa dan Rusia yang saling memperebutkan Ukraina. Rusia
mencoba untuk menggunakan keuntungan geografis yang ia miliki. Ia berusaha
untuk kembali mengambil Ukraina untuk menjadi bagiannya seperti Uni Soviet dulu
dan akhirnya sekarang Rusia berhasil menganeksasi Krimea (Rusia resmi sahkan aneksasi Krimea, 2014). Rusia
melihat peluang dengan keberadaan etnik Rusia di Krimea. Maka dari itu, Putin
mencoba untuk menunjukan kekuasaannya secara geografis di tanah Ukraina dengan
mengirimkan pasukannya ke daerah Timur Ukraina. Melihat geografis Ukraina,
Putin juga megambil keuntungan dari aspek tersebut dengan menginterupsi
perdagangan serta energi untuk Kiev. Di sini, Putin berusaha untuk menyerang
Ukraina secara geografis untuk memperlemah Ukraina sebagai sebuah negara (Kaplan, 2014).
Selain itu, perang
yang terjadi di negara-negara di Timur
Tengah juga menambah panasnya isu geopolitik ini. Demokrasi liberal yang
diharapkan dapat menjadi ideologi negara-negara di Arab Spring perlahan tidak terlihat lagi dengan munculnya politik zero-sum game yang bertolak belakang
dengan ideologi tersebut. Perang antar etnik dan bangsa kembali bermnuculan seperti
perang agama di Siria, konflik di Yemen dan Libya serta munculnya kembali
pemerintah diktaktor di Mesir (Kaplan, 2014). Iran juga mulai muncul sebagai
hegemoni regional di Arab. Iran mengajak Hezbollah menjadi sekutunya untuk
melawan pemerintahan Amerika serta membuat negara-negara disekitarnya terutama
Israel menjadi insecure karena adanya
pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Iran (Mead, 2014).
Lalu, ditambah
dengan kehadiran Tiongkok sebagai negara di Asia yang mulai merangkak naik
dalam waktu yang cukup singkat. Tiongkok berusaha untuk menjadi hegemoni di
Asia dimana ia mulai menunjukkan power nya.
Terlebih lagi dengan munculnya kasus-kasus perebutan teritori seperti Laut
China Timur dengan Jepang serta kasus Laut China Selatan dengan negara-negara
ASEAN. Tiongkok mulai mencoba mengekspansi negaranya agar ia bisa menjadi
hegemoni di kawasan tersebut. Dengan harapan seperti yang diungkapkan oleh
Mahan yaitu bahwa laut sangatlah luas dan dapat bermanfaat dalam semua aspek,
khususnya untuk bagian perekonomian seperti yang ia tulis dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History (Sempa, 2014).
Tindakan Tiongkok
tersebut membuat negara-negara lainnya juga merespon dengan meningkatkan kekuatan
militernya masing-masing. Seperti Malaysia yang membeli kapal-kapal baru dari
Italia yng dilengkapi dengan rudal. Singapura yang juga walaupun negara
terkecil di ASEAN tetapi memiliki angkatan laut terkuat dengan blue water navy combat nya tersebut. Serta
Thailand, Filipina, dan Vietnam yang walaupun memiliki anggaran yang tidak
cukup banyak tetapi mereka juga berusaha untuk meningkatkan maritimnya akibat
dari konflik Laut China Selatan ini (Adjie, 2014).
Salah satu tindakan
yang juga cukup mengagetkan adalah Indonesia yang kini pada masa pemerintahan
Jokowi mencetuskan doktrin Maritime
Fulcrum, dimana doktrin ini diharapkan dapat membawa laut Indonesia menjadi
salah satu power yang dapat
diperhitungkan (Kurlantzick, 2014).
Doktrin tersebut diharapkan dapat membawa Indonesia dapat menjadi salah satu
negara yang dapat berkontribusi dalam keamanan dan kedamamaian regional
Samudera Hindia dan Pasifik (Witular,
2014). Kehadiran doktrin ini menjadi salah satu contoh bagaimana geopolitik
masih berperan pada masa kini.
Geopolitik tidak
dapat lepas dari dunia politik masa kini. Hal-hal yang berkaitan dengan
geografis menjadi salah satu faktor utama sebuah kebijakan luar negeri diambil.
Seperti yang dikutip dari majalah TIME, Kaplan (2014) berpendapat bahwa Ukraina
yang seharusnya dapat menjadi bangsa yang makmur tetapi lokasinya yang
bersebelahan dengan Rusia membuatnya tidak bisa lepas dari Rusia. Sama halnya
dengan yang terjadi di Arab, dimana negara Barat tetap tidak bisa menerima
populasi muslim di kawasan tersebut sehingga membuat mereka selalu mengirim
militer ke Arab dan membuat negara-negara di kawasan Timur Tengah tersebut
menjadi tidak stabil. Kaplan (2014) juga menambahkan bahwa, “While our foreign policy must be morally
based, the analysis behind it must be cold-blooded, with geography as its
starting point. In geopolitics, the past never dies and there is no modern
world.”
Negara-negara revisionis
tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang berbeda tetapi persamaan mereka adalah
ingin merubah status quo yang
dimiliki oleh Amerika (Mead, 2014). Perubahan yang mereka inginkan telah
terbukti melalui geopolitik. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui
jalur diplomasi misalnya dalam kasus pencaplokan Krimea ternyata terbukti
gagal. Serta kegagalan-kegagalan lainnya dalam penyelesaian sengketa Laut China
Selatan.
Sebenarnya jika
dilihat lebih dalam lagi, walaupun negara-negara barat terlihat mengesampingkan
geopolitik tetapi kehadiran aliansi militer seperti NATO membuat semakin jelas
bahwa geopolitik sebenarnya masih penting pada masa kini. Jika, negara-negara
barat menganggap world peace dapat
dicapai melalui ideologi liberal demokrasi serta pasar bebas seharusnya
aliansi-aliansi militer seperti ini juga dapat dihindari. Tetapi tentu saja,
aliansi militer tersebut yang memiliki tujuan utama untuk menjaga keamanan
khususnya di kawasan Eropa membuat semakin jelas bahwa demokrasi liberal tidak
sepenuhnya dapat menjaga perdamaian (Trabanco, 2009).
Kesimpulannya,
geopolitik masih berperan di dalam era diplomasi sekarang ini. Walaupun banyak
sengketa yang mampu diselesaikan melalui jalur diplomasi tetapi kemunculan
negara-negara revisionis membuat jalur diplomasi sulit untuk dilakukan. Seperti
kegagagaln diplomasi yang terjadi pada kasus Krimea dan Laut China Selatan.
Selain itu, pelopor ideologi liberal demokrasi sendiripun masih tetap berpegang
pada geopolitik dengan dapat dilihat dengan adanya aliansi militer seperti
NATO. Seperti dikutip dari tulisan oleh Francis P. Sempa (2014) bahwa, “As Germany’s Chancellor, Bismarck spent the next twenty years
using his considerable diplomatic skills to maintain the general peace of
Europe. But diplomacy, no matter how skilled, could not overcome geopolitical
realities.”
Referensi
Rusia resmi sahkan aneksasi Krimea. (2014, March 22). Retrieved January 14, 2015,
from BBC Indonesia:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140321_krimea_rusia_ukraina_aneksasi
Adjie, H. (2014, August 11). Imbas Konflik
Laut Cina Selatan, Pacu Modernisasi Kekuatan Laut di Asia Tenggara.
Retrieved January 14, 2015, from INDOMILITER:
http://indomiliter.com/2014/08/11/imbas-konflik-laut-cina-selatan-pacu-modernisasi-kekuatan-laut-di-asia-tenggara/
Cohen, S. B. (2008). Geopolitics: The
Geography of International Relations. New York: Rowman & Littlefield
Publishers.
Kaplan, R. D. (2014, March 20). Geopolitics
and the New World Order. Retrieved January 14, 2015, from TIME:
http://time.com/31911/geopolitics-and-the-new-world-order/
Kurlantzick, J. (2014, November 25). Jokowi’s
Maritime Doctrine and What it Means. Retrieved January 13, 2015, from
Council on Foreign Relations:
http://blogs.cfr.org/asia/2014/11/25/jokowis-maritime-doctrine-and-what-it-means/
Mead, W. R. (2014, May). The Return of
Geopolitics. Retrieved January 14, 2015, from Foreign Affairs:
http://www.foreignaffairs.com/articles/141211/walter-russell-mead/the-return-of-geopolitics
SEMPA, F. P. (2014). Alfred Thayer Mahan and
the Coming of the First World War. Retrieved January 14, 2015, from The
University Bookman:
http://www.kirkcenter.org/index.php/bookman/article/alfred-thayer-mahan-and-the-coming-of-the-first-world-war/
Sempa, F. P. (2014, December 30). The
Geopolitical Vision of Alfred Thayer Mahan. Retrieved January 13, 2015,
from The Diplomat: http://thediplomat.com/2014/12/the-geopolitical-vision-of-alfred-thayer-mahan/
Trabanco, J. M. (2009, April 2). War without
Borders: A Geopolitical Assessment of NATO. Retrieved January 14, 2015,
from Global Research: http://www.globalresearch.ca/war-without-borders-a-geopolitical-assessment-of-nato/13008
Witular, R. A. (2014, November 14). Presenting
maritime doctrine. Retrieved January 14, 2015, from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/14/presenting-maritime-doctrine.html